Senin, 05 Januari 2009

Sejarah Keraton surakarta (edited)

Sejarah Keraton Surakarta

Surakarta adalah sebuah kotamadya di Provinsi Jawa Tengah yang merupakan satu dari 2 kota pewaris Kerajaan Mataram kedua. Sering disingkat menjadi Solo, yang diambil dari nama Sungai Bengawan Solo yang mengalir di kota kecil ini. Hadirnya
Kasunanan Surakarta, adalah perwujudan warisan masa lalu itu. Namun, kasunanan
ini tengah berduka. 11 Juni lalu, sang rajanya telah mangkat dalam usia 79 tahun.

Tak terasa 40 hari sudah Sampeyan Ndalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono ke-12 wafat. Bangunan kraton yang sudah berumur beserta tiap sudut ruangannya memberikan makna dan kenangan yang mendalam akan keberadaan Sang Sinuhun.
Memiliki selir 6 orang tanpa kehadiran seorang permaisuri, serta putra putri yang berjumlah 36, menjadikannya sebuah dinasti dengan kharisma tersendiri. Bila Sinuhun tengah menginap di keraton, maka teras belakang dekat keputren menjadi tempat sowan para selir dan anak-anaknya.
Kenangan ini tak hanya hidup di hati anak-anaknya, tapi juga para kerabat dan abdi dalem. Kharisma Sang Suhusunan yang dikenal luwes bergaul ini, membuat sosoknya sulit dilupakan. perwujudan bakti, 40 hari sepeninggal Sinuhun diperingati dengan ritual khusus. Kesibukan terutama amat terasa di dapur keraton. Para abdi dalem menyiapkan makanan baik itu untuk sesajen maupun sebagai bagian dari konsumsi yang dihidangkan pada peringatan 40 hari Paku Buwono ke-12. Bermacam masakan seperti bakmi, bihun, tempe, teri dan sebagainya terhidang lengkap bersama nasi uduk, nasi golong dan nasi asahan.
Malam menjelang peringatan 40 hari wafatnya Sinuhun, tamu pun berdatangan.Untuk mendoakan almarhum.Tahlilan yang dilangsungkan di pendopo keraton di malam hari ke-40 ini adalah ritual pertama dari 2 acara yang digelar untuk memperingati 40 hari mangkatnya sang raja.
Keharuan mengenang almarhum, kembali terasa di Imogiri. Pertentangan yang pernah ada antar anggota keluarga, untuk sementara pun diabaikan. Saatnya berdoa bukan hanya untuk almarhum, tapi juga bagi kelangsungan keraton surakarta , warisan Kerajaan Mataram.
Kembali ke Masa Lalu. Memahami keberadaan Kasunanan surakarta kini, tak bisa lepas dari upaya menelusuri asal usulnya di masa lalu.terbentuknya Keraton Surakarta diawali dari munculnya Kerajaan Mataram ratusan tahun silam. Sejumlah situs di Yogyakarta dan Solo, menjadi saksi.
Kota Gede yang terletak di tenggara Yogyakarta, menurut sejarah dulunya merupakan Hutan Mentaok. Kala itu, Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, menghadiahkan tanah ini kepada Ki Ageng Pemanahan yang dianggap banyak berjasa. Hutan Mentaok inilah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram.
Pemanahan memang berhasil membuat wilayahnya menjadi sebuah kerajaan kecil. Ketika ia wafat,sang putra, Sutawijaya, menggantikannya. Dibawah kepemimpinan Sutawijaya, kerajaan warisan sang ayah kian besar. Sutawijaya pun mengangkat dirinya sebagai Raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. ibukotanya, Kota Gede.
Di Kota Gede ini jugalah Ki Ageng Pemanahan beserta istri dan anak-anaknya dimakamkan. Termasuk Panembahan Senopati.


Tak jauh dari lokasi makam, ada sebuah peninggalan. Watugilang. Konon merupakan lantai singgasana Panembahan Senopati yang digunakan untuk mengakhiri hidup Ki Ageng Mangir, menantu sang raja sekaligus musuh.
Sekitar 10 tahunan kemudian, Raja Mataram saat itu, Sultan Agung, mengalihkan ibukota Kerajaan Mataram. dari Kota Gede, ke Plered. Namun kini bangunan Keraton Plered bisa dibilang sudah tak bersisa. Hanya tinggal umpak atau alas tiang yang terbuat dari batu andesit, teronggok di sini. Tak terbayang justru dari sinilah, Mataram pernah mengalami masa keemasannya dibawah pemerintahan Sultan Agung. Saat ini Plered menjadi nama kelurahan dan kecamatan di wilayah Bantul.
Sultan Agung meninggal pada tahun 1645, saat itu jugalah Mataram seolah tinggal menghitung hari keruntuhannya. Para penerusnya, ternyata tidak mewarisi sifat-sifat bijak Sultan Agung. Banyak kekacauan terjadi. Ibukota Kerajaan Mataram pun kembali berpindah-pindah. Yang terakhir adalah ke Kartasura.
Peninggalannya yang masih bisa dilihat hingga kini antara lain kompleks makam dan benteng dari batu bata setebal 2 meteran. Pada masa-masa inilah Mataram mulai terpecah-belah. Antara lain akibat hadirnya VOC.
Perebutan kekuasaan pun terus terjadi dalam dinasti Mataram. Tahun 1755, di masa pertikaian antara Paku Buwono ke-3 dan Pangeran Mangkubumi, lahirlah perjanjian Giyanti yang digagas VOC. Isinya, Mataram dibagi 2. Bagian barat diberikan kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono ke-1 danmendirikan Keraton Yogya. Sementara bagian timur diberikan kepada Paku Buwono ke-3, yang merupakan Kasunanan Surakarta.
Dalam perkembangan selanjutnya, masing-masing punya jalan sendiri. Kesultanan Yogyakarta bisa dibilang berfungsi sebagai pusat kekuasaan atau politik lokal, karena sampai saat ini pimpinan keratonnya sekaligus jadi pimpinan daerah. Sementara fungsi keraton Kasunanan Surakarta selama ini lebih dominan sebagai pusat kebudayaan. Sulitnya Sebuah Sukses
Meninggalnya Paku Buwono ke-12 melahirkan persoalan mengenai siapa yang berhak menjadi penggantinya. Apalagi sang raja pun tak punya permaisuri. Namun konon ada aturan tidak tertulis atau pakem keraton yang menyebutkan, bila tidak ada putra mahkota, maka anak lelaki tertualah yang akan menjadi pewaris tahta. Jika merujuk pada ketentuan itu, maka KGPH Hangabehi berhak menjadi Paku Buwono ke-13.
KGPH Hangabehi yang didukung saudara-saudara kandungnya juga mengklaim telah menyimpan bahkan merekam surat wasiat yang dibuat Sinuhun Paku Buwono XII, 10 hari menjelang tutup usia. Dalam wasiat yang kini berada di pihak kepolisian, konon Sinuhun PB ke-12 menunjuk KGPH Hangabehi sebagai pewarisnya. sayangnya Hingga saat ini, surat wasiat itu tidak pernah diperlihatkan pada publik.itu memicu konflik baru. Ada pemahaman, bila tidak ada putra mahkota, maka tiga lembaga resmi keraton yang berhak menentukan penggantinya. Yaitu Pengeging Putra Sentana Dalem atau petinggi putra dan kerabat raja, Pengageng Parentah Kraton atau petinggi badan eksekutif kraton dan Pengageng Parentah Keputren atau petinggi di keputrian kraton. Oleh karena itu ada penolakan terhadap KGPH Hangabehi, karena tidak ada persetujuan dari 3 lembaga utama keraton tersebut.
Ketiga lembaga utama keraton ini justru secara bulat menunjuk putra Paku Buwono ke-12 yang lain, KGPH Tedjowulan, sebagai penerus tahta.Sesungguhnya, inilah momen yang tepat bagi segenap keluarga Kasunanan Surakarta, untuk melakukan introspeksi. Bermusyawarah dan mengatur strategi bersama agar keluhuran budaya dan spiritual keraton tak hilang terkikis zaman.
Minggu depan : Penobatan 2 Raja 1 Singgasana Perseteruan 2 kubu. Sebuah ancaman bagi keutuhan keraton warisan Mataram ini. Awal September lalu, kesibukan para abdi dalem dan kerabat Kasunanan Surakarta meningkat dari biasanya. Kesibukan yang telah dimulai sejak mangkatnya Pakubuwono ke-12. Tapi, hiruk-pikuk keraton
kali ini adalah untuk mempersiapkan jumenengan atau penobatan sang raja baru.
Calon raja yang akan dinobatkan di keraton sesaat lagi, adalah Kanjeng Gusti Pangeran Haryo, KGPH Hangabehi, sang putra tertua almarhum Pakubuwono ke-12. Konon menurut kebiasaan, bila seorang raja tidak punya permaisuri dan tidak menunjuk putra mahkota, maka anak lelaki tertualah yang naik tahta.ada juga yang tidak setuju. Seharusnya bila situasi seperti itu terjadi, maka 3 lembaga keratonlah yang berhak memutuskan. Dan sayangnya, Hangabehi bukan pilihan mereka. Pertemuan seluruh keluarga dan lembaga keraton, sebetulnya sudah berlangsung beberapa kali. Tapi tak ada kesepakatan siapa yang akan jadi Pakubuwono ke-13. Di tengah kemelut inilah, tanggal 10 September, KGPH Hangabehi diresmikan sebagai Sahandap Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan atau SSISKS Pakubuwono ke XIII.
Usai mengucap sumpah di depan Patanen Probosuyoso, Hangabei keluar, diiringi para gusti atau kerabat dekatnya. Hanya mereka yang disumpah, yang boleh menyaksikan
ikrar raja baru. Selanjutnya, Hangabehi yang kini telah menjadi Pakubuwono ke-13 menuju bangsal Sitihinggil Manguntur Tangkil. Mirip pelaksanaan pengangkatan raja sebelumnya, di bangsal Sitihinggil Manguntur Tangkil inilah raja yang baru diperkenalkan kepada rakyatnya. Dan sebaliknya rakyat dapat melihat siapa raja barunya.
Kalimat-kalimat berbahasa Jawa pun disampaikan, berharap kemakmuran dan keselamatan selalu mengiringi langkah raja dan rakyatnya. Tapi ritual masih belum usai. Diiringi para abdi dalem dan kerabat kraton, raja baru, Sinuhun PB XIII menuju pendopo Sasono Sewoko.
Di pendopo ini, penghormatan dari para abdi dalem dan segenap kerabat, dihaturkan. Tanda mereka akan mengabdi pada sinuhun. Pada kesempatan ini pula tarian sakral Bedoyo Ketawang, dipersembahkan. Tarian Bedoyo Ketawang merupakan tarian yang hanya dilaksanakan saat jumeneng raja-raja Mataram. Ini berarti tarian Bedoyo Ketawang sebelumnya, terakhir dimainkan pada tahun 1945, saat pengukuhan Pakubuwono XII. Sayangnya, penampilan anggun 9 penari Bedoyo Ketawang ini, tak bisa menepis kegundahan. Terutama di hati para kerabat keraton. Pro kontra siapa yang berhak menjadi Pakubuwono ke-13, terus bergulir. Antara pihak Hangabehi yang didukung saudara-saudara kandungnya, dengan pihak Tedjowulan yang didukung tiga elemen lembaga keraton.
Ketika Gerbang DitutupKeraton Surakarta sempat ditutup sekitar sehari semalam oleh pihak Hangabehi. Penutupan ini dilakukan untuk mengantisipasi agar acara penobatan KGPH Tedjowulan sebagai Pakubuwono ke-13, tidak terlaksana. Sejak awal, KGPH Tedjowulan dan para pendukungnya, bersebrangan dengan kubu Hangabei dan mengklaim penunjukan saudaranya, KGPH Hangabei menjadi SISKS Pakubuwono ke-13, tidak sah.Ada pandangan, bila terjadi ketidakjelasan dalam hal pewaris tahta, maka ia harus ditetapkan oleh 3 pengageng atau lembaga kraton. Putra Sentana, Parentah Kraton, dan Keputren. Ketiga pengageng keraton, yang didukung para kerabat dan abdi dalem sepakat menunjuk Tedjowulan sebagai pengganti mendiang sang ayahanda Pakubuwono ke-12.Perseteruan ini semakin menajam ketika kubu Tejowulan tetap melakukan penobatan tandingan. Berlangsung hari Selasa, 31 Agustus 2004. 10 hari sebelum penobatan KGPH Hangabei dilakukan. Bertempat di Kagungandalem Sasono Sewoko Keraton Surakarta Hadiningrat yang merupakan tempat tinggal BRA Moeryati Soedibyo, KGPH Tejowulan resmi dinobatkan menjadi Sinuhun Pakubuwono ke-13. Pengamat keraton dari Universitas 11 Maret Solo, Tunjung W. Sutirto, berpandangan, kedua pihak sesungguhnya telah memiliki legitimasi lahiriah, yaitu memiliki pendukung yang cukup banyak. tinggal kini menanti legitimasi spiritual. Sesungguhnya secara de facto, sejak tahun 1946, Raja Kasunanan Surakarta tidak lagi mempunyai wilayah kekuasaan dan rakyat. Semenjak itu kekuasaannya hanya sebatas lingkungan Keraton. Sebagai kepala istana, pemangku adat sekaligus pengemban kebudayaan.Sejarah telah mencatat, terjadinya konsep raja kembar dalam dinasti Mataram, sesungguhnya tak hanya di era Pakubuwono ke-13 saja. Setidaknya telah 3 kali hal itu terjadi. Yakni antara Puger dan Amangkurat 1, Puger dengan Amangkurat 3 dan Pakubuwono Ketiga dan Mangkubumi. Mungkin dari sejarah ini pula, solusi terbaik bisa diambil. solusi terbaik bagi keutuhan Keraton Surakarta.
Keraton di Mata Mereka Keraton Surakarta saat ini, bagi para abdi dalem bukanlah berarti berhenti mengabdi pada istana. Bagi kebanyakan abdi dalem, yang mereka cari, hanyalah sebentuk pengayoman agar dapat hidup tentram. Tak mudah memang mengabaikan pengabdian puluhan tahun bahkan turun temurun, dari mereka yang berasal bukan dari golongan bangsawan ini. Tak mudah pula memahami kesetiaan mereka. Karena bila dilihat dari sisi gaji, bisa dibilang jauh dari mencukupi. Tapi toh abdi
dalem seperti Ibu Kenyo yang telah mengabdi hampir 40 tahun, bukan gaji yang
ia harapkan dari keraton. Sementara bagi masyarakat Solo sendiri, walau keratin Surakarta tak punya tempat dalam menentukan keputusan bagi masyarakatnya, tapi karisma keraton nyatanya masih cukup kuat. Inilah saat yang tepat bagi dinasti Mataram di Surakarta untuk membuktikan, mereka mampu berjiwa besar, berbuat yang terbaik bagi keutuhan keraton. Agar kembali menjadi pusat budaya yang adiluhung, menopang harmoni kehidupan